Sabtu, 09 Januari 2010

IMAJINASI yang berTAMASYA


Malam ini, dimana bulan sudah mulai menampakkan kekuasaan, dimana semua gejolak mulai terbaring tenang, dimana nafas kehidupan mulai terhembus lamban, aku sebagai manusia yang selama ini sibuk mendengarkan kata hati dan menuruti segala perintah otak mulai gundah. Gundah akan segala hal yang telah aku lakukan, aku kerjakan, dan aku lewatkan. Aku lakukan untuk diriku sendiri, aku kerjakan untuk diri sendiri dan terlewatkan hingga terasa sendiri.
Kehidupan yang ideal sebagai awal akan suatu cita, terasa makin lama semaki jauh dari kelopak mataku. Segala macam angan dan khayalan terasa semakin meninggalkan urat saraf dikepalaku. Lalu lalang bahasa serta tautan – tautan berlabel ilmu semakin deras mengendap di kerongkongan yang terbaur menjadi satu didalam setiap celah akar rambutku.
Kreatifitas, politik, hukum, teknologi, sosial, etika, comfortable, cinta, keluarga, sahabat, kerabat, tuntutan, tanggung jawab, idelism, existensi, keahlian, kemampuan, proses, gengsi dan segala macam yang tidak dapat aku sebutkan lagi, mulai membawa seorang teman yang tidak aku inginkan bernama ketakutan. Ketakutan akan menjadi manusia yang bernafas, ketakutan akan masa depan, ketakutan akan krisis kepercayaan dan ketakutan - ketakutan yang sesungguhnya tidak terpikirkan bagi kebanyakan orang.
Apakah ini menandakan aku terlalu perasa dalam menyikapi hidup? Apakah aku terlalu cengeng? Apa aku harus bersikap masa bodoh? Masa bodoh akan hidupku? Masa bodoh akan masa depanku? Masa bodoh dengan kreatifitasku? Masa bodoh dengan idealismku? Masa bodoh dengan pikiran – pikiranku? Pikiran akan keluarga, kerabat, saudara teman, komunitas, organisasi, ilmuku, kemampuanku, keahlianku, pekerjaanku, negaraku atau bahkan agamaku? Aku tak tahu………………………………………………………………………
Tidak ada kejelasan atau penjelasan akan semua itu, sekalipun organ terdekat dalam tubuhku. Semua terasa diam tak berpadu. Diam akan kekosongan otakku, otak yang individualis menggerakkan segala aktifitasku. Otak yang tak mau tahu akan nasehat – nasehat nurani, otak yang tak ada rasa malu akan kekurangan, otak yang tak berkeringat ketika diperas dan otak yang terlalu sempit menghadapi badai ilmu.
Hanya nafas yang masih terhela, yang tersisa dengan setia mengiringi langkah kaki meski tak berarah. Semua coba diterjang, semua coba dihadang demi sebuah upeti bagi sang raja dalam singgasana otak. Singgasana yang terlalu gemerlap hingga menyilaukan kebenaran, singgasana yang terlalu menyilaukan bagi sebuah konsep hidup, singgasana yang terlihat eksclusif bagi sebuah penghambaan dan singgasana yang terlalu bersinar bagi sebuah keseriusan.
Sampai dengan symbol pergeseran malam mulai terbuai. Aku masih tak tahu kemana arah hidup sebagai tujuan yang seharusnya terekam benar dalam otak. Imajinasiku semakin jauh pergi tak terkendali, imajinasiku semakin jauh terasa tak akan kembali, kembali kedalam peraduan otak dan mulai mengukur jalan yang seharusnya sudah tiba saatnya untuk menjadi terukur. Hanya takdir sebagai wahana pelampiasan, tetapi otak tetap yang tersalahkan. Semoga tuhan memberikan segalanya yang benar dan semoga tuhan mengembalikan segala imajinasiku, imajinasi yang terang, imajinasi yang tak akan padam, dan imajinasi yang akan selalu bersinar..Amin…… | 00.29 | 0901010 |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar